Melalui Rapat DPR, Pemilu Tingkat Nasional dan Lokal diusulkan Dipisah

Thursday, 6 Mar 2025 09:19 WIB Kamis, 6 Maret 2025 09:19 WIB 27
Melalui Rapat DPR, Pemilu Tingkat Nasional dan Lokal diusulkan Dipisah
Melalui Rapat DPR, Pemilu Tingkat Nasional dan Lokal diusulkan Dipisah

Ruteberita.com – Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, menyampaikan usulan agar kontestasi pemilu selanjutnya digelar secara serentak dalam dua gelombang berbeda, yakni serentak di tingkat nasional dan lokal.

Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama aktivis pemilu dan demokrasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (5/3/2025).
Rapat ini nantinya jadi masukan dalam revisi UU Pemilu dan Pilkada.

Delia menjelaskan, keserentakan pemilu ini justru banyak kekurangannya. Salah satu yang paling jadi sorotan adalah beratnya persaingan sehingga semakin masifnya praktik kecurangan seperti politik uang.

Berdasarkan dari berbagai studi yang sudah dilakukan, kata Delia, kontestasi pilpres, pileg, dan pilkada yang digelar serentak pada tahun yang sama justru memberatkan kandidat.
Salah satu contohnya, calon anggota legislatif (caleg) harus ikut mengampanyekan calon presiden (capres) yang didukung oleh partainya. Padahal, pada saat yang bersamaan, caleg bersangkutan harus berkampanye pula untuk dirinya sendiri.” Dari beragam studi menunjukkan bagi calon anggota legislatif, jadwal yang bersamaan atau dilakukan secara serentak itu justru memberatkan. Karena caleg tidak hanya berkampanye untuk pencalonan dirinya sendiri tetapi juga harus mengkampanyekan calon presiden,” kata dia.

Selain itu, karena kandidat yang bersaing sangat banyak di waktu yang bersamaan, berdampak pada politik praktis.
Mereka berupaya melakukan berbagai cara cepat agar bisa menang sehingga berujung pada marak dan normalisasinya politik uang.

“Kalau kita merujuk studinya Pak Burhanuddin (Indikator Politik) ternyata pemilih serentak karena calonnya ada banyak, ketika calonnya banyak maka pembelian suara menjadi dinormalisasi.
Jadi pemilih menerima uang ya biasa saja karena ada banyak orang yang menerima uang juga dari kandidat yang lain,” ujar dia.

“Money politic atau biaya politik di Indonesia sangat mahal, pemilu menjadi sangat barbar dan itu dirasakan bukan hanya oleh kami.
Tapi peserta pemilu justru turut merasakan bagaimana bar-barnya, tingginya biaya politik untuk mencalonkan diri sebagai caleg kabupaten/kota saja misalnya Rp5 miliar atau bahkan lebih,” sambung Delia.

2. Soroti tujuan utama pemilu serentak

Alasan lainnya mengapa pemilu tidak efektif digelar serentak adalah karena tidak mencapai tujuan utamanya yakni terkait literasi dan partisipasi pemilih. Kendati partisipasi pemilih tinggi pada pilpres dan pileg, tetapi nyatanya tidak terjadi peningkatan pada pilkada.

“Kalau kita bicara soal penerapan literasi pemilih itu ternyata juga tidak menunjukkan kondisi yang baik. Untuk partisipasi pemilih mungkin pemilu serentak membantu untuk meningkatkan partisipasi, meskipun di pilkada serentak ternyata tidak terjadi peningkatan partisipasi pemilih,” kata Delia.

Delia mengatakan, meningkatkan literasi pemilih tidak mencapai tujuannya karena pemilih dibingungkan dengan banyaknya pilihan.
Ia meyakini, partisipasi pemilih yang meningkat, tetapi tidak berhasil mendongkrak literasi pemilih.

“Kita tanya misalnya mereka belum tentu tahu calon yang mewakilinya itu siapa. Jadi temuan kami menunjukkan, pemilu serentak memang secara partisipasi pemilih bisa meningkatkan, tetapi tidak memiliki pengaruh yang positif terhadap peningkatan pengetahuan pemilih terhadap calon yang akan mereka pilih,” ujar dia.

3. Usul pemilu tingkat nasional dan lokal dipisah

Oleh sebab itu, Puskapol UI mengusulkan alternatif desain keserentakan pemilu sebagaimana mengacu pada Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Model ini mengadopsi sistem keserentakan pemilu yang memisahkan tingkat nasional dan lokal. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI. Sedangkan, pemilu lokal berkaitan dengan pemilihan gubernur, bupati/wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.  Delia meyakini, alternatif ini jika nantinya diakomodir dalam revisi UU Pemilu dan Pilkada bisa memperkuat sistem presidential, baik di tingkat nasional maupun daerah.

“Jadi kalau kita berharap pemilu nasional itu bisa meningkatkan sistem presidensil bisa lebih efektif dan tidak kompleks, justru dengan pemisahan nasional dan lokal ini bisa mencapai tujuan yang diharapkan dari pemilu serentak sebenarnya,” kata dia.

Delia memastikan varian ini sesuai dengan Putusan MK 55/2019. MK juga mengamanahkan mengenai mekanisme pemilu ini sebagai open legal policy, di mana memberikan kewenangan bagi DPR RI untuk memutuskan.

Editor : Redaksi Ruteberita

TOPIK TERKAIT

banneratas-2
iklan03