Ruteberita.com – Tim hukum Dendy Suryadi-Alif Turadi kembali menanggapi perdebatan Edi Damansyah-Rendi terkait pemberitaan pencalonananya selama ini yang telah mendaftar sebagai bakal calon Bupati dan wakil Bupati Kutai Kartanegara.
Hendrich Juk Abeth Ketua Tim Hukum DEAL menerangkan putusan MK yang diperdebatkan kita harus membaca Putusan MK secara utuh mengenai perbedaan antara menjabat secara definitif, pejabat sementara, dan pelaksana tugas (plt).
Penjelasan yang sebenarnya telah disampaikan oleh saudara Edi Damansyah dalam permohonannya saat melakukan uji materil berkaitan dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, tambahan lembaran negara nomor 5898, selanjutnya disebut “UU Nomor 10 Tahun 2016).
Hendrich Juk Abeth yang juga sebagai Ketua DPD PERADI SAI Kalimantan Timur menerangkan atas permohonan dalam uji materilnya oleh saudara Edi Damansyah sebagai Pemohon terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, telah melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XXI/2023, yang mana terhadap uji materil dimaksud telah secara tegas Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XXI/2023 menyatakan.
“Bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan “masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.”
Lebih lanjut Hendrich mengungkapkan saudara Edi Damansyah menjabat sebagai plt telah diterangkan secara tegas oleh saudara Edi Damansyah dalam permohonan uji materil di Mahkamah Konstitusi dan terhadap apa yang menjadi persoalan dalam uji materil tersebut.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XXI/2023, berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum terhadap uji materil disimpulkan pokok permohonan tidak beralasan hukum, sehingga dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 2/PUU-XXI/2023 mengadili menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Tanggapan Terkait Surat Edaran Bawaslu Nomor 96 Tahun 2024
Hendrich Juk Abeth juga menanggapi terkait Surat Edaran Bawaslu Nomor 96 Tahun 2024 yang menjadi bagian dasar dalam majunya saudara Edi Damansyah mencalonkan kembali sebagai Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Pilkada tahun 2024.
“Tentu kurang tepat jika surat edaran dijadikan sebagai dasar bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara(KPU Kukar) dalam meloloskan Saudara Edi Damansyah mencalonkan kembali sebagai bakal calon Bupati Kutai Kartanegara.” ungkap Hendrich.
“Karena selain berkaitan dengan kedudukan Surat Edaran tidaklah dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menganulir peraturan perudang-undangan seperti mengenai ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf n undang- undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.” lanjut Hendrich.
Dan juga Tafsir dalam surat edaran mengenai perbedaan antara menjabat secara definitif, pejabat sementara, dan pelaksana tugas (plt), merupakan hal yang menjadi dasar diajukannya permohonan dan yang dikemukan oleh saudara Edi Damansyah yang tertuang pada halaman 21 sampai dengan 32 melalui Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023.
Kemudian Mahkamah Konstitusi atas dasar permohonan yang dikemukan oleh saudara Edi Damansyah melalui Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023, telah tegas menolak permohonan Edi Damansyah tersebut.
Dan seperti yang diketahui putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding) sebagaimana penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sehingga tidak ada alasan mempersoalkan dan menafsirkan kembali pokok persoalan yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi karena sesuai dengan prinsip hukum yang dikenal “res judicata pro veritate habetur” yang artinya “putusan hakim harus dianggap benar”.
Hendrich Juk Abeth menyampaikan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah merumuskan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, tidak ada kedudukan Surat Edaran sebagai peraturan perundang- undangan, sehingga menjadi hal yang ironis Surat Edaran mengalahkan atau menganulir hukum tertinggi seperti Putusan Mahkamah Konstitusi dan PKPU atau peraturan perundang- undangan.
Tanggapan Tim Hukum Dendy-Alif Kepada Penyelanggara
Hendrich Juk Abeth Menyampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai penyelanggara Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) hendaknya dapat menaati dan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan berkaitan dengan Pilkada dengan penuh kesadaran hukum, teliti, dan cermat, agar dikemudian hari Komisi Pemilhan Umum Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Dengan tidak bersandar pada dasar hukum berupa pendapat apalagi Surat Edaran, tetapi yang harus ditaati dan dihormati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XXI/2023 yang mana sebagai keputusan resmi yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan setara dengan Undang-Undang, sehingga harus ditaati oleh semua pihak.
Hendrich juga meminta KPU Kukar sebagai penyelanggara agar menjunjung tinggi hukum dan menjaga integritas dalam penyelenggaran Pemilihan Kepada Daerah dengan bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan termasuk tidak membuka celah yang dapat merugikan pelaksanaan pilkada serta berpotensi hilangnya kepercayaan publik terhadap jalannya proses demokrasi di Kabupaten Kutai Kartanegara.(*)
Sumber: Press Release Tim Hukum Deal
Editor: Redaksi Ruteberita